dongeng
Tanabata
Pada zaman dahulu, di sebuah desa kecil hiduplah seorang pemuda
miskin. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya pemuda tersebut menjual
gerabah. Setiap hari ia berjalan dari kampung ke kampung untuk
menawarkan gerabah buatannya. “Gerabah… gerabah…!!!” teriaknya setiap
hari. Meskipun sangat berat dan melelahkan tetapi sang pemuda selalu
riang gembira menawarkan barang dagangannya.
Pada suatu hari yang panas, sang pemuda berjalan menyusuri tepi
sebuah danau yang jernih. “Ah, hari ini melelahkan sekali” katanya
sambil meletakkan bakulnya di tepi danau tersebut dan mengusap peluh
yang menetes di dahinya. Sang pemuda membasuh muka dan minum beberapa
tangkup air yang diambil dengan tangannya. “Ah, segarnya…” katanya
dengan senang.
Sang pemuda hendak melanjutkan perjalanan ketika sayup-sayup
terdengar suara perempuan yang sedang bercanda ria dari arah danau.
“Suara siapa ya?” tanyanya dalam hati. Dengan penuh konsentrasi dia coba
tajamkan pendengarannya serta dipicingkannya matanya untuk mencari
sumber suara tersebut. Ternyata suara tersebut memang berasal dari
beberapa wanita yang sedang mandi di tepi danau. Melihat wanita cantik
yang sedang mandi itu, hati sang pemuda menjadi berdebar-debar karena
malu. Ketika ia sedang mencari tempat persembunyian agar tidak terlihat
oleh para wanita itu, ia melihat beberapa helai pakaian yang sangat
halus dan indah warnanya. Mungkin itu adalah pakaian para wanita yang
sedang mandi. Akhirnya timbullah pikiran jahat sang pemuda untuk
mengambil sebuah pakaian mereka. Lalu pakaian itu disembunyikannya dalam
bakulnya. Sang pemuda lalu pergi menjauh dari tempat itu.
Menjelang senja, sang pemuda kembali lagi
melewati danau tersebut untuk melihat-lihat apakah ada wanita-wanita
cantik yang tadi sedang mandi masih ada atau sudah pergi. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat dari balik pohon di tepi danau seorang
wanita yang cantik jelita tanpa berpakaian selembar pun sedang menangis
seorang diri. Dengan hati berdebar-debar sang pemuda mendekati gadis
itu.
“Hai, kenapa engkau menangis?” tanya sang pemuda.
“Pakaianku dicuri orang! Aku tak bisa pulang tanpa pakaian itu” jawab sang gadis.
Sang pemuda jadi merasa kasihan melihat gadis itu menangis, sejenak
timbul niatnya untuk mengembalikan pakaian yang telah diambilnya tadi.
Tapi, karena baru pertama kali ia melihat gadis secantik itu, maka
timbul niatnya untuk mengajak sang gadis ikut pulang ke rumah
bersamanya. Sang gadis pun sangat berterima kasih atas kebaikan sang
pemuda untuk mengajaknya pulang ke rumah.
Karena sang gadis tidak punya tempat tujuan lainnya di dunia ini maka
ia memutuskan untuk tinggal bersama sang pemuda. Mereka pun akhirnya
menikah. Beberapa waktu kemudian sang gadis yang kini telah menjadi
istrinya, melahirkan seorang anak. Kehidupan mereka pun menjadi semakin
bahagia.
Pada suatu hari, seperti biasanya sang suami pergi bekerja, sedangkan
sang istri tinggal di rumah untuk memasak dan bermain dengan anaknya
yang masih bayi. Hari itu tidak seperti biasanya, sang bayi menangis
dengan keras, hingga sang ibu harus bersusah payah untuk menidurkannya.
Ketika anaknya sedang tertidur pulas, tanpa disadarinya mata sang ibu
tertuju pada sebuah benda aneh yang digantung di langit-langit rumahnya.
Benda apa itu ya? Karena penasaran, maka diambilnya tangga untuk
mengambil benda yang sedang tergantung di atas. Ternyata benda itu
adalah sebuah bungkusan kain. Perlahan-lahan dibukanya bungkusan itu
dan… “Oh, ini pakaianku yang selama ini aku cari. Ternyata suamiku
sendiri yang telah menyimpannya!” katanya dengan sedih bercampur
gembira. Segera dipakainya pakaian itu. Dan dengan menggendong anaknya
yang masih tertidur pulas itu, ia hendak terbang ke angkasa. Bersamaan
dengan itu suaminya pulang ke rumah. Melihat istrinya mengenakan pakaian
itu suaminya menjadi sedih dan khawatir.
“Istriku, hendak pergi kemana engkau?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Suamiku, aku telah menemukan pakaian yang selama ini aku cari.
Sesungguhnya aku adalah bidadari dari langit. Dan kini saatnya aku harus
kembali ke langit. Karena disanalah tempatku!” kata sang istri sambil
perlahan-lahan melayang ke udara.
“Istriku, jangan tinggalkan aku!” teriak sang suami dengan memohon.
“Kalau engkau ingin menemui aku, buatlah seribu pasang sandal jerami,
lalu pendamlah dalam tanah di hutan bambu yang tinggi. Panjatlah pohon
bambu itu hingga mencapai kerajaan langit. Nanti kita akan dapat bertemu
lagi. Sampai jumpa…” kata istrinya dengan mata berkaca-kaca karena
sedih berpisah dengan suaminya. Dan perlahan-lahan sang istri pun naik
ke atas langit hingga hilang di balik awan putih.
Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, sang suami segera
mengumpulkan jerami sebanyak-banyaknya dan tanpa kenal lelah bekerja
siang malam untuk membuat seribu pasang sandal jerami. Akhirnya sang
suami berhasil membuat 999 pasang sandal, tetapi karena sudah tidak
sabar ingin menemui istri dan anaknya segera diangkut ke-999 sandal
jerami tersebut dan dikubur dalam hutan bambu. Tiba-tiba dari dalam
timbunan sandal jerami tersebut tumbuhlah sebatang pohon bambu yang
menjulang tinggi ke angkasa. Sang suami pun menaiki pohon bambu tersebut
sampai ke ujungnya. Tetapi karena sandal jerami yang dibuatnya kurang
satu pasang, maka sang suami tidak bisa mencapai kerajaan langit yang
hanya kurang satu lengan saja. Betapa pun tangan sang suami
menggapai-gapai tidak juga sampai ke kerajaan langit. Maka ia pun
berteriak sekencang-kencangnya untuk memanggil sang istri. “Istriku… aku
datang untuk menemuimu. Keluarlah!”
Teriakan sang suami pun akhirnya sampai juga ke telinga sang istri.
Diulurkannya lengan sang istri untuk menjangkau lengan suaminya.
Akhirnya sang suami berhasil juga menginjakkan kaki di kerajaan langit.
Setelah itu mereka berdua menghadap ke dewa langit yang juga ayah sang
istri. Tetapi karena pada dasarnya kerajaan langit tidak menyukai adanya
hubungan antara manusia dan dewa, maka dengan cara apapun ayah dan ibu
istrinya memisahkan hubungan anaknya dengan manusia.
Suatu hari sang ayah memerintahkan suami anaknya untuk mengambil air
tanpa tumpah sedikitpun dengan keranjang yang banyak lubangnya. Tentu
saja hal tersebut mustahil. Dalam kebingungannya sang istri menolong
sang suami dengan membawakan kertas minyak untuk menutupi keranjang yang
berlubang-lubang itu. Sewaktu ayah sang istri melihat bahwa keranjang
tersebut mampu menampung air, ia sangat terkejut.
“Ternyata manusia juga mempunyai kepandaian!” katanya dengan
bersungut-sungut. Sejenak hati sang suami lega, tetapi hal itu belumlah
berakhir.
Saat itu adalah saat musim panas. Di kerajaan langit, makan buah
semangka adalah suatu pantangan yang tidak boleh dilakukan karena akan
menimbulkan suatu bencana. Namun, karena sang ibu ingin memisahkan anak
gadisnya dari suaminya, maka ia memerintahkannya untuk memetik semangka
di kebun.
“Belah dan bawa kemari buah semangka dari kebun!” perintah sang ibu.
Karena ia pikir memetik dan membelah buah semangka bukanlah merupakan
pekerjaan sulit, maka tanpa banyak basa-basi sang suami langsung pergi
ke kebun untuk mengambil buah semangka. Dipotongnya buah semangka
tersebut dengan hati-hati. Tetapi selanjutnya apa yang terjadi? Dari
dalam buah semangka yang terbelah itu mengalirlah air bah dengan
derasnya. Sang suami terseret arus air tersebut tanpa bisa berbuat
apa-apa. “Tolong… tolong!” teriak sang suami. Ayah dan ibu sang istri
tertawa senang melihat suami anaknya terseret arus air yang telah
berubah menjadi sungai yang besar. Istrinya yang baru menyadari
terjadinya bencana tersebut segera pergi ke tepi sungai tersebut. Namun
ia terlambat. Suaminya telah terbawa arus sungai yang jauh. Ia sangat
sedih. Ia pun berteriak, “Suamiku! Kita akan bertemu setiap tanggal
tujuh! Tujuh…!”
Tetapi karena suaminya semakin menjauh, maka yang terdengar oleh suaminya hanya angka “tujuh”.
Aliran sungai di kerajaan langit tersebut dinamakan sungai Amanogawa.
Setiap tanggal tujuh tiap bulannya, sang istri selalu menunggu
kedatangan sang suami di tepi sungai Amanogawa. Tetapi berbulan-bulan
ditunggunya suaminya tidak muncul-muncul juga. Akhirnya suaminya datang
untuk menemui sang istri tercinta pada tanggal 7 bulan 7 (Juli). Sang
suami hanya mendengar angka tujuh dan tujuh, jadi pikirnya bertemu pada
tanggal tujuh bulan tujuh. Sejak saat itu mereka hanya dapat bertemu
satu kali dalam setahun yaitu pada tanggal 7 Juli. Sampai saat ini
tanggal 7 Juli diperingati sebagai Festival Tanabata di Jepang. Di hari
itu, masyarakat Jepang menggantungkan kertas kecil warna-warni berisi
berbagai macam permohonan di ranting pohon bambu dengan harapan agar
permohonan tersebut dapat terkabulkan.
Dongeng Tanabata
ini berasal dari Prefektur Kagawa. Tema kisah cinta yang tragis ini
memberikan inspirasi bagi masyarakat tradisional Jepang untuk menjadikan
kedua tokoh dalam cerita itu sebagai dewa-dewi yang dapat mengabulkan
segala permohonan mereka, terutama hal-hal yang berhubungan dengan cinta
asmara. Nilai-nilai positif yang dapat diambil antara lain adalah
ketulusan cinta tidak akan pernah mati walaupun diterpa berbagai macam
rintangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar